Keseharianku tidak ada yang
berubah, meski peperangan kembali melanda. Meski kemarin dipaksa diriku untuk
ikut berperang, tetapi sekarang hariku yang damai kembali seperti biasa.
Kuharap kedamaian seperti ini bisa kudapat sampai akhir hayatku.
4 tahun yang lalu, tepatnya
saat usiaku baru menginjak 13 tahun, kakek yang telah merawat serta
membesarkanku meninggal dunia. Hal ini membuatku harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhanku
sehari-hari. Kedua orangtuaku telah lama meninggal, tepat beberapa bulan
setelah kelahiranku. Mereka terbunuh oleh bandit saat pergi ke kota yang sangat
jauh. Sehingga aku hidup sendirian, sebatang kara. Tetapi hal itu tak menjadi
masalah buatku.
Badanku tidak terlalu
pendek, tidak gemuk atau kurus. Bisa dibilang tubuhku cukup ideal, bukannya
membanggakan diri tapi badanku lumayan atletis. Otot-otot tubuhku juga lumayan,
untuk seorang berusia 17 tahun sepertiku. Wajahku lumayan tampan menurut
orang-orang, Kulitku putih kekuningan dengan rambut hitam lebat bergelombang
yang tidak terlalu panjang.
Seperti biasa hariku
berjalan tenang dan damai tak ada masalah atau gangguan. Saat kilauan merah
masih berada di ufuk timur aku mulai menyiapkan makan, biasanya hanya menanak
nasi dan membuat sayur rebus, aku memasak juga untuk nanti siang dan sore.
Sambil menunggu nasi dan sayur matang, selalu aku melatih kemampuan
berpedangku, kadang aku berpikir tidak ada gunanya aku berlatih berpedang. Aku
tidak ingin menjadi prajurit kerajaan juga aku tidak terlalu suka berpedang.
Namun karena kakekku dulu memaksaku berlatih pedang setiap saat membuat
berpedang sudah menjadi kebiasaanku sampai saat ini. Ini lebih baik daripada
harus menunggu nasi matanglebih baik aku berlatih memainkan pedang. Setelah aku
ikut berperang kemarin aku sedikit sadar, jika kemampuanku berpedang ini
mungkin suatu saat akan berguna, meski aku tidak ingin menggunakan kemampuanku
ini.
Nasi dan sayur sudah matang,
langsung diriku mengambil sepiring nasi dan sayur yang telah kumasak tadi. Tak
butuh waktu lama bagiku untuk menghabiskan makanan yang ada dipiring. Tidak
sampai 5 menit nasi dipiring sudah habis. Meski makanku sederhana aku tetap
bersyukur masih dapat makan hari ini.
Selesai sarapan kadangkala
aku pergi kepasar membeli persedian makanan. Jika persediaan masih banyak aku
diam saja dirumah menunggu siang datang. Siang telah tiba, perutku mulai
keroncongan, kuambil nasi dan sayur tadi pagi untuk kumakan lagi. Habis makan,
aku langsung mencari pekerjaan pada warga desa, aku menawarkan diri sebagai
buruh tani. Kupilih pekerjaan ini sebab aku tak memiliki keahlian khusus, dan
menjadi buruh tani menurutku cukup mudah dijalani. Selain itu hampir sebagian
besar warga desa ini seorang tani yang memiliki sawah ataupun ladang, dan para
warga tidak sanggup untuk mengolah tanah mereka sendiri jadi sering mereka
mencari jasa dari buruh tani sepertiku.
Hari itu aku sedikit
beruntung, biasanya aku menawarkan diri dari satu rumah kerumah yang lain untuk
menawarkan jasaku ini. Tapi ada seseorang yang datang langsung kepadaku
menawariku kerja. Saat aku hendak mengunci pintu rumah terdengan suara teriakan
memanggil namaku. Orang itu memanggilku sambil berlari menuju kearahku, seorang
yang cukup tua namun masih kelihatan sehat bugar.
“Oiiii . . .Arman.”
teriaknya
“Oh . . pak kepala desa, ada
apa ya pak ?.” tanyaku.
“Arman begini, aku sedang
panen jagung, tapi aku kekurangan orang untuk memanennya. Jika tak segera
dipanen hari ini, nanti malam jagung-jagung diladangku pasti akan dimakan
gagak. Bisa rugi aku nanti. Aku minta bantuanmu membantu memanen jagung
diladangku.” jelas pak kepala desa kepadaku. Tanpa pikir panjang aku langsung
menerima pekerjaan itu.
“Baiklah pak kades, aku akan
membantu.” jawabku menerima tawarannya.
Setelah perbincangan
berakhir aku langsung pergi menuju ladang pak kades berada. Untuk kesana tak
terlalu membutuhkan waktu yang lama, jarak ladang tak terlalu jauh dari
rumahku, sekitar 500 meteran. Sekitar 5 menit berjalan kaki dari rumah aku
sudah sampai dimana ladang jagung pak kades berada. Disana sudah ada 6 orang
yang mulai memanen jagung sejak pagi hari. Memang buruh tani memulai kerjanya
sejak pagi hari, namun diriku pengecualian. Para warga sudah tahu jika aku
tidak bisa memulai bekerja sejak pagi karena aku harus menyiapkan makanan terlebih
dahulu. Berbeda dengan buruh tani yang lain, mereka biasanya sudah disiapkan
oleh istri atu orang tua mereka sedangkan aku hidup sendiri.
Hampir setengah dari semua
jagung yang ada sudah dipanen dan dengan datangnya diriku sekarang pemanenan
sedikit bisa lebih cepat. Tanpa lama menunggu aku langsung memanen jagung milik
pak kades. Setelah itu aku dan 6 buruh tani lainnya memanen ladang jagung yang
siap panen ini.
Siang tak terasa telah
berlalu, matahari sudah berada di ujung barat. Kilauan-kilauan jingga cerah
nampak menyilaukan dari barat, menghiasi langit desa. Burung-burung terlihat
dengan jelas di langit yang cerah dengan awan yang berbentu tak beraturan,
terlihat beterbangan kesana kemari. Mungkin burung-burung pulang kembali
kesarang, setelah mencari makan seharian. Angin cukup terasa kencang sore itu,
menambah syahdunya suasana sore itu.
Senja hapir tiba, dan
pekerjaan kami telah selesai sepenuhnya. Baru saja selesai memanen semua jagung
yang ada, pak kades langsung menyambut kami. Ia datang untuk memberi upah dan
mengangkat semua karung jagung yang telah kami isi penuh untuk segera dijual ke
tengkulak.
Saat itu juga kami dibayar
atas kerja keras kami, aku mendapat upah 2 koin perak. Berbeda dengan buruh
yang lain mereka mendapat upah 4 koin perak, mungkin karena mereka bekerja
sejak pagi hari. Tak apalah 2 koin perak sudah cukup buatku, setidaknya cukup
untuk makan 3-4 hari.
Pekerjaan kini telah
rampung, satu persatu dari kami mulai pulang begitupun aku. Sore itu aku
langsung pulang kerumah, sampai dirumah aku menghilangkan keringat yang
membasahi tubuhku, lalu aku membersihkan dan menyegarkan badanku dengan mandi
air yang sejuk. Kuguyur semua badan dengan air sungai yang langsung mengalir
dari sumbernya. Terasa segar sekali tubuh ini, rasa lelah yang kudapat seolah
hilang bersama guyuran air yang mengalir kebawah tubuhku.
Selesai mandi aku langsung
menghabiskan sisa makanan tadi pagi. Meski tak seenak saat pagi, kuhabiskan
semua nasi dan sayur yang masih ada. Setelah semua makanan habis, kucuci bersih
perabotan yang kugunakan tadi.
Sehabis alat masak dan makan
telah benar-benar bersih, gelapnya malam mulai menyelimuti desa secara perlahan.
Namun itu tak berlangsung lama, satu persatu rumah mulai menyalakan lampu
ublik, disusul dari satu rumah ke rumah yang lain. Suasana desa nampak seperti
kunang-kunang yang menyalakan cahayanya.
Setelah kunyalakan lampu
ublik diluar dan dalam rumah, tak ada yang harus kukerjakan. Hanya menunggu
kantuk datang sambil menikmati suasana sunyinya desa malam ini. Tak lama
kunikmati kesunyian ini, rasa kantuk mulai tiba, langsung kumenuju kamarku
berada. Sesampainya dikasur, kurebahkan tubuhku di kasur empukku, tak lama
tidur dikasur aku mulai terlelap dalam tidurku.
Sungguh hari yang tenang dan
damai. Begitulah keseharianku yang damai berlalu. Biasa saja dan tak ada
masalah, meski Arthara dilanda peperangan, ahh kuharap desa yang kutingggali
ini selalu damai sampai hari tua nanti.
Tidurku nyenyak sekali, tak
terasa malam yang begitu panjang berlalu dengan cepat. Suara ayam hutan mulai
berkokok, tanda malam mulai berakhir. Rutinitasku tetap seperti biasa, tapi
hari ini ada sedikit yang berbeda. Pagi itu, saat kutengah menyiapkan makanan, kuamati
luar rumah dari cendela depan, dapurku memang lurus dengan depan rumah, jadi
halaman depan bisa kulihat dari dapur. Dari cendela itu pula nampak bayangan
dari sosok besar sedang berdiri dibalik pintu yang masih tertutup.
“Arman kau ada dirumah.”
teriak seorang dari balik pintu rumahku sambil mengetok pintu.
“Iyaa aku ada didalam, kau masuk
saja.” sahutku.
Pintu depan terbuka, dan
terlihat seorang pria berusia 30-an berbadan besar dengan kulitnya yang sawo
matang berdiri tegak berjalan masuk ke dalam rumah. Wajahnya terlihat garang
dengan mata bundar besar. Jenggot serta kumis mengerumuni wajahnya, menambah
kegarangan dari wajahnya. Otot-ototnya yang besar menonjol dari tubuhnya, jelas
dibentuk melalaui banyak pertempuran. Bahunya lebar, kuyakin dia sangat
berpengalaman dalam pertarungan. Ia adalah Farhan.
“Ada perlu apa ?” tanyaku.
“Tangkap ini, upahmu kemarin
lusa.” jawabnya sambil melempar sekantong uang.
Kutangkap kantong itu, lalu
berbalik tanya.”Upah ?” dengan nada penasaran.
“Kau lupa, itu bayaranmu
atas keikutanmu dalam perang kemarin.” jelasnya.
“Oh . . itu ya, jadi baru
sampai.”
“Sebenarnya sampai kemarin
sore dan sudah kubagi pada yang lain. Rumahmu paling jauh dari desa, terpencil
di selatan sendiri, dekat hutan lagi. Jadi baru bisa kuberi sekarang.”
Yah rumahku memang jauh dari
pemukiman warga yang lain. Rumahku berada di ujung selatan desa, dan dekat
hutan.
“Totalnya 50 keping perak.”
lanjut Farhan.
“Sebanyak itu, lumayanlah
aku bisa libur kerja sebulan lebih.”
“Jadi itu alasanmu ikut
perang, padahal kau takut, demi uang ya.”
Memang saat peperangan beerapa
hari yang lalu aku ketakutan. Sebab itu baru pertama kali bagiku.
“Saat mengawali hal baru
tidak apa kan merasa takut ?” jawabku santai. “Sebenarnya bukan demi uang
alasanku ikut. Tapi aku dipaksa pak kades. Jadi terpaksa aku ikut.”
“Begitu ya.”
“Farhan mumpung kau disini
aku punya permintaan untukmu. Kau tahu aku setiap saat berlatih pedang
sendirian. Kau tidak akan tahu kemampuanmu bukan jika kau berlatih sendiri.
“Jadi ?”
“Aku ingin berduel pedang
denganmu untuk mengukur kemampuanku.”
“Hmm . kau yakin ingin bertarung denganku.”
“Sangat yakin.”
“Kau tahu aku mantan seorang
jenderal yang sangat terkenal. “
“Aku tahu itu.”
“Baiklah jika itu maumu,
akan kulayani kau.”
Percakapan kami berakhir dan
aku langsung mengambil 2 pedang yang kupunya, untukku dan untuk Farhan. Kemudian
kami menuju halaman depan rumah untuk bertarung.
“Kau siap Man.”
“Selalu siap.”
“Baiklah kalau begitu, seranglah
kapanpun kau siap.”
“Okee.”
[POV Farhan]
Aku sedikit terkejut dengan
permintaan Arman yang ingin bertarung pedang denganku. Tapi aku tak punya
alasan untuk menolakknya, lagipula aku juga ingin tahu kemampuannya seperti
apa.
“Baiklah kalau begitu,
seranglah kapanpun kau siap.” ucapku pada Arman.
“Okee.” balasnya dengan mata
penuh keyakinan.
Dia mulai mengambil ancang-ancang.
Dengan nafas yang panjang dia julurkan pedang keatas secara vertikal lalu kaki
kiri digesernya kedepan. Kemudian pedangnya ia arahkan kedepan dengan dua
tangan seperti mau menusuk. Sepertinya Arman sudah siap melawanku. Melihat
Arman sudah memasang kuda-kuda untuk bertarung, aku juga tak ingin kalah. Kupegang
erat-erat pedang dengan kedua tanganku dan kuarahkan ke kanan bawah, lalu
kutarik mundur kaki kananku kebelakang. Sekarang kami sudah benar-benar siap
bertarung.
Melihat aku sudah siap,
Arman mulai menyerangku. Dia mengayunkan pedangnya keatas lalu mengarahkan
dengan cepat dan keras kearahku. Tapi aku berhasil menangkisnya dengan
menggerakkan pedangku keatas. Kedua pedang kami yang saling beradu membuat
sebuah percikan api dan suara yang cukup keras. Melihat serangannya bisa
kutangkis, dia memutar pedangnya dengan tangannya. Lalu pedangnya bisa bergesek
dengan mudah dan dia mendorongnya kekanan, lalu menyerangku lagi dari sisi
kanan. Meski sedikit kesulitan aku masih bisa menahan serangannya.
Arman terus-terusan
mengibaskan pedangnya padaku, namun semua serangannya bisa kutangkis dan
kuhindari. Dia tak memberiku kesempatan untuk menyerang balik, semua
serangannya begitu kuat dan terarah. Aku merasa kerepotan meladeni
pertarungannya, beberapa serangannya hampir saja mengenaiku. Untungnya aku bisa
menahan maupun menghindarinya sambil mundur beberapa langkah.
Cukup lama Arman terus
menyerang, dan nampaknya tak lama lagi dia akan kehabisan tenaga. Saat pola
serangannya mulai menurun kesempatanku untuk menyerang balik, kuawali
seranganku dari atas. Dengan mengangkat pedang keatas kepalanya, dia bisa
menghalau seranganku. Namun meski begitu tenaga yang kugunakan begitu besar
sampai membuat Arman tak mampu menahan dorongan pedangku, terpaksa ia mundur.
Tak kubiarkan kesempatan ini hilang begitu saja, aku langsung menerangnya lagi
dan lagi dengan tenaga yang kuat. Tapi Arman begitu gigih menahan seranganku,
dia sangat nampak kelehalan. Sampai akhirnya kuayunkan pedangku dari samping
kiri dan dia mencoba menangkisnya dengan pedangnya namun pedangnya malah
terlempar jauh.
“Aku . . . . .kalah.” Arman
mengatakannya dengan nafas berat dan terengah-engah.
“Maklum saja lawanmu adalah
aku, Mantan Jenderal cukup terkenal.” Kubalas ucapnya dengan nada sedikit sombong.”Tapi
kemampuanmu cukup hebat untuk orang desa sepertimu.
Sejujurnya aku sedikit
terkejut dengan kemampuan Arman, seorang dari desa mampu membuatku sedikit
kerepotan.
“Tetap saja . .aku kalah
darimu.”
“Kau saja yang salah pilih
lawan. Kau mungkin akan mendapat posisi yang tinggi bila kau masuk kemiliteran
kerajaan.”
“Tapi . . aku tak ingin
menjadi tentara kerajaan.” Nafasnya masih terdengar berat.
“Yah . . . aku tak akan
memaksamu menjadi prajurit kerajaan.”
“Farhan . . . aku baru saja
memasak sesuatu. Maukah kau makan bersamaku, anggap saja itu balasan sudah mau
bertanding pedang denganku.”
“Jika kau tak keberatan tak
masalah bagiku.”
“Tapi aku hanya memasak
sayur saja, kau mau kan ?.”
“Tak masalah apa saja, masuk
kedalam perutku ini.”
Setelah obrolan itu
berakhir, kami kembali menuju dapur di rumah Arman. Setelah ia mengambil
sepiring nasi dan sayuran sebagai lauknya, kami langsung melahap makanan yang
sudah ada di depan kami. Selesai makan aku langsung ingin kembali ke penginapan
desa dimana aku tinggal.
“Arman aku mau kembali.”
“Farhan kau tahu, bila
berlatih pedang sendiri kita tidak akan tahu apakah kita sudah hebat jika tak
ada orang yang melihatnya.”
“Jadi maksudmu ada orang
yang harus memperhatikanmu setiap kau berlatih.”
“Paham juga kau maksudku,
aku ingin kau kesini setiap hari menemaniku berpedang. Tentu saja kau juga akan
dapat keuntungan, setiap hari akan kubuatkan kau sarapan. Apa kau mau?”
“Baiklah, jika aku dapat
makan gratis.”