Minggu, 30 Desember 2018

Chapter 1 : Kehidupan yang Damai


Keseharianku tidak ada yang berubah, meski peperangan kembali melanda. Meski kemarin dipaksa diriku untuk ikut berperang, tetapi sekarang hariku yang damai kembali seperti biasa. Kuharap kedamaian seperti ini bisa kudapat sampai akhir hayatku.
4 tahun yang lalu, tepatnya saat usiaku baru menginjak 13 tahun, kakek yang telah merawat serta membesarkanku meninggal dunia. Hal ini membuatku harus  bekerja keras demi memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Kedua orangtuaku telah lama meninggal, tepat beberapa bulan setelah kelahiranku. Mereka terbunuh oleh bandit saat pergi ke kota yang sangat jauh. Sehingga aku hidup sendirian, sebatang kara. Tetapi hal itu tak menjadi masalah buatku.
Badanku tidak terlalu pendek, tidak gemuk atau kurus. Bisa dibilang tubuhku cukup ideal, bukannya membanggakan diri tapi badanku lumayan atletis. Otot-otot tubuhku juga lumayan, untuk seorang berusia 17 tahun sepertiku. Wajahku lumayan tampan menurut orang-orang, Kulitku putih kekuningan dengan rambut hitam lebat bergelombang yang tidak terlalu panjang.
Seperti biasa hariku berjalan tenang dan damai tak ada masalah atau gangguan. Saat kilauan merah masih berada di ufuk timur aku mulai menyiapkan makan, biasanya hanya menanak nasi dan membuat sayur rebus, aku memasak juga untuk nanti siang dan sore. Sambil menunggu nasi dan sayur matang, selalu aku melatih kemampuan berpedangku, kadang aku berpikir tidak ada gunanya aku berlatih berpedang. Aku tidak ingin menjadi prajurit kerajaan juga aku tidak terlalu suka berpedang. Namun karena kakekku dulu memaksaku berlatih pedang setiap saat membuat berpedang sudah menjadi kebiasaanku sampai saat ini. Ini lebih baik daripada harus menunggu nasi matanglebih baik aku berlatih memainkan pedang. Setelah aku ikut berperang kemarin aku sedikit sadar, jika kemampuanku berpedang ini mungkin suatu saat akan berguna, meski aku tidak ingin menggunakan kemampuanku ini.
Nasi dan sayur sudah matang, langsung diriku mengambil sepiring nasi dan sayur yang telah kumasak tadi. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menghabiskan makanan yang ada dipiring. Tidak sampai 5 menit nasi dipiring sudah habis. Meski makanku sederhana aku tetap bersyukur masih dapat makan hari ini.
Selesai sarapan kadangkala aku pergi kepasar membeli persedian makanan. Jika persediaan masih banyak aku diam saja dirumah menunggu siang datang. Siang telah tiba, perutku mulai keroncongan, kuambil nasi dan sayur tadi pagi untuk kumakan lagi. Habis makan, aku langsung mencari pekerjaan pada warga desa, aku menawarkan diri sebagai buruh tani. Kupilih pekerjaan ini sebab aku tak memiliki keahlian khusus, dan menjadi buruh tani menurutku cukup mudah dijalani. Selain itu hampir sebagian besar warga desa ini seorang tani yang memiliki sawah ataupun ladang, dan para warga tidak sanggup untuk mengolah tanah mereka sendiri jadi sering mereka mencari jasa dari buruh tani sepertiku.
Hari itu aku sedikit beruntung, biasanya aku menawarkan diri dari satu rumah kerumah yang lain untuk menawarkan jasaku ini. Tapi ada seseorang yang datang langsung kepadaku menawariku kerja. Saat aku hendak mengunci pintu rumah terdengan suara teriakan memanggil namaku. Orang itu memanggilku sambil berlari menuju kearahku, seorang yang cukup tua namun masih kelihatan sehat bugar.
“Oiiii . . .Arman.” teriaknya
“Oh . . pak kepala desa, ada apa ya pak ?.” tanyaku.
“Arman begini, aku sedang panen jagung, tapi aku kekurangan orang untuk memanennya. Jika tak segera dipanen hari ini, nanti malam jagung-jagung diladangku pasti akan dimakan gagak. Bisa rugi aku nanti. Aku minta bantuanmu membantu memanen jagung diladangku.” jelas pak kepala desa kepadaku. Tanpa pikir panjang aku langsung menerima pekerjaan itu.
“Baiklah pak kades, aku akan membantu.” jawabku menerima tawarannya.
Setelah perbincangan berakhir aku langsung pergi menuju ladang pak kades berada. Untuk kesana tak terlalu membutuhkan waktu yang lama, jarak ladang tak terlalu jauh dari rumahku, sekitar 500 meteran. Sekitar 5 menit berjalan kaki dari rumah aku sudah sampai dimana ladang jagung pak kades berada. Disana sudah ada 6 orang yang mulai memanen jagung sejak pagi hari. Memang buruh tani memulai kerjanya sejak pagi hari, namun diriku pengecualian. Para warga sudah tahu jika aku tidak bisa memulai bekerja sejak pagi karena aku harus menyiapkan makanan terlebih dahulu. Berbeda dengan buruh tani yang lain, mereka biasanya sudah disiapkan oleh istri atu orang tua mereka sedangkan aku hidup sendiri.
Hampir setengah dari semua jagung yang ada sudah dipanen dan dengan datangnya diriku sekarang pemanenan sedikit bisa lebih cepat. Tanpa lama menunggu aku langsung memanen jagung milik pak kades. Setelah itu aku dan 6 buruh tani lainnya memanen ladang jagung yang siap panen ini.
Siang tak terasa telah berlalu, matahari sudah berada di ujung barat. Kilauan-kilauan jingga cerah nampak menyilaukan dari barat, menghiasi langit desa. Burung-burung terlihat dengan jelas di langit yang cerah dengan awan yang berbentu tak beraturan, terlihat beterbangan kesana kemari. Mungkin burung-burung pulang kembali kesarang, setelah mencari makan seharian. Angin cukup terasa kencang sore itu, menambah syahdunya suasana sore itu.
Senja hapir tiba, dan pekerjaan kami telah selesai sepenuhnya. Baru saja selesai memanen semua jagung yang ada, pak kades langsung menyambut kami. Ia datang untuk memberi upah dan mengangkat semua karung jagung yang telah kami isi penuh untuk segera dijual ke tengkulak.
Saat itu juga kami dibayar atas kerja keras kami, aku mendapat upah 2 koin perak. Berbeda dengan buruh yang lain mereka mendapat upah 4 koin perak, mungkin karena mereka bekerja sejak pagi hari. Tak apalah 2 koin perak sudah cukup buatku, setidaknya cukup untuk makan 3-4 hari.
Pekerjaan kini telah rampung, satu persatu dari kami mulai pulang begitupun aku. Sore itu aku langsung pulang kerumah, sampai dirumah aku menghilangkan keringat yang membasahi tubuhku, lalu aku membersihkan dan menyegarkan badanku dengan mandi air yang sejuk. Kuguyur semua badan dengan air sungai yang langsung mengalir dari sumbernya. Terasa segar sekali tubuh ini, rasa lelah yang kudapat seolah hilang bersama guyuran air yang mengalir kebawah tubuhku.
Selesai mandi aku langsung menghabiskan sisa makanan tadi pagi. Meski tak seenak saat pagi, kuhabiskan semua nasi dan sayur yang masih ada. Setelah semua makanan habis, kucuci bersih perabotan yang kugunakan tadi.
Sehabis alat masak dan makan telah benar-benar bersih, gelapnya malam mulai menyelimuti desa secara perlahan. Namun itu tak berlangsung lama, satu persatu rumah mulai menyalakan lampu ublik, disusul dari satu rumah ke rumah yang lain. Suasana desa nampak seperti kunang-kunang yang menyalakan cahayanya.
Setelah kunyalakan lampu ublik diluar dan dalam rumah, tak ada yang harus kukerjakan. Hanya menunggu kantuk datang sambil menikmati suasana sunyinya desa malam ini. Tak lama kunikmati kesunyian ini, rasa kantuk mulai tiba, langsung kumenuju kamarku berada. Sesampainya dikasur, kurebahkan tubuhku di kasur empukku, tak lama tidur dikasur aku mulai terlelap dalam tidurku.
Sungguh hari yang tenang dan damai. Begitulah keseharianku yang damai berlalu. Biasa saja dan tak ada masalah, meski Arthara dilanda peperangan, ahh kuharap desa yang kutingggali ini selalu damai sampai hari tua nanti.
Tidurku nyenyak sekali, tak terasa malam yang begitu panjang berlalu dengan cepat. Suara ayam hutan mulai berkokok, tanda malam mulai berakhir. Rutinitasku tetap seperti biasa, tapi hari ini ada sedikit yang berbeda. Pagi itu, saat kutengah menyiapkan makanan, kuamati luar rumah dari cendela depan, dapurku memang lurus dengan depan rumah, jadi halaman depan bisa kulihat dari dapur. Dari cendela itu pula nampak bayangan dari sosok besar sedang berdiri dibalik pintu yang masih tertutup.
“Arman kau ada dirumah.” teriak seorang dari balik pintu rumahku sambil mengetok pintu.
“Iyaa aku ada didalam, kau masuk saja.” sahutku.
Pintu depan terbuka, dan terlihat seorang pria berusia 30-an berbadan besar dengan kulitnya yang sawo matang berdiri tegak berjalan masuk ke dalam rumah. Wajahnya terlihat garang dengan mata bundar besar. Jenggot serta kumis mengerumuni wajahnya, menambah kegarangan dari wajahnya. Otot-ototnya yang besar menonjol dari tubuhnya, jelas dibentuk melalaui banyak pertempuran. Bahunya lebar, kuyakin dia sangat berpengalaman dalam pertarungan. Ia adalah Farhan.
“Ada perlu apa ?” tanyaku.
“Tangkap ini, upahmu kemarin lusa.” jawabnya sambil melempar sekantong uang.
Kutangkap kantong itu, lalu berbalik tanya.”Upah ?” dengan nada penasaran.
“Kau lupa, itu bayaranmu atas keikutanmu dalam perang kemarin.” jelasnya.
“Oh . . itu ya, jadi baru sampai.”
“Sebenarnya sampai kemarin sore dan sudah kubagi pada yang lain. Rumahmu paling jauh dari desa, terpencil di selatan sendiri, dekat hutan lagi. Jadi baru bisa kuberi sekarang.”
Yah rumahku memang jauh dari pemukiman warga yang lain. Rumahku berada di ujung selatan desa, dan dekat hutan.
“Totalnya 50 keping perak.” lanjut Farhan.
“Sebanyak itu, lumayanlah aku bisa libur kerja sebulan lebih.”
“Jadi itu alasanmu ikut perang, padahal kau takut, demi uang ya.”
Memang saat peperangan beerapa hari yang lalu aku ketakutan. Sebab itu baru pertama kali bagiku.
“Saat mengawali hal baru tidak apa kan merasa takut ?” jawabku santai. “Sebenarnya bukan demi uang alasanku ikut. Tapi aku dipaksa pak kades. Jadi terpaksa aku ikut.”
“Begitu ya.”
“Farhan mumpung kau disini aku punya permintaan untukmu. Kau tahu aku setiap saat berlatih pedang sendirian. Kau tidak akan tahu kemampuanmu bukan jika kau berlatih sendiri.
“Jadi ?”
“Aku ingin berduel pedang denganmu untuk mengukur kemampuanku.”
“Hmm .  kau yakin ingin bertarung denganku.”
“Sangat yakin.”
“Kau tahu aku mantan seorang jenderal yang sangat terkenal. “
“Aku tahu itu.”
“Baiklah jika itu maumu, akan kulayani kau.”
Percakapan kami berakhir dan aku langsung mengambil 2 pedang yang kupunya, untukku dan untuk Farhan. Kemudian kami menuju halaman depan rumah untuk bertarung.
“Kau siap Man.”
“Selalu siap.”
“Baiklah kalau begitu, seranglah kapanpun kau siap.”
“Okee.”

[POV  Farhan]
Aku sedikit terkejut dengan permintaan Arman yang ingin bertarung pedang denganku. Tapi aku tak punya alasan untuk menolakknya, lagipula aku juga ingin tahu kemampuannya seperti apa.
“Baiklah kalau begitu, seranglah kapanpun kau siap.” ucapku pada Arman.
“Okee.” balasnya dengan mata penuh keyakinan.
Dia mulai mengambil ancang-ancang. Dengan nafas yang panjang dia julurkan pedang keatas secara vertikal lalu kaki kiri digesernya kedepan. Kemudian pedangnya ia arahkan kedepan dengan dua tangan seperti mau menusuk. Sepertinya Arman sudah siap melawanku. Melihat Arman sudah memasang kuda-kuda untuk bertarung, aku juga tak ingin kalah. Kupegang erat-erat pedang dengan kedua tanganku dan kuarahkan ke kanan bawah, lalu kutarik mundur kaki kananku kebelakang. Sekarang kami sudah benar-benar siap bertarung.
Melihat aku sudah siap, Arman mulai menyerangku. Dia mengayunkan pedangnya keatas lalu mengarahkan dengan cepat dan keras kearahku. Tapi aku berhasil menangkisnya dengan menggerakkan pedangku keatas. Kedua pedang kami yang saling beradu membuat sebuah percikan api dan suara yang cukup keras. Melihat serangannya bisa kutangkis, dia memutar pedangnya dengan tangannya. Lalu pedangnya bisa bergesek dengan mudah dan dia mendorongnya kekanan, lalu menyerangku lagi dari sisi kanan. Meski sedikit kesulitan aku masih bisa menahan serangannya.
Arman terus-terusan mengibaskan pedangnya padaku, namun semua serangannya bisa kutangkis dan kuhindari. Dia tak memberiku kesempatan untuk menyerang balik, semua serangannya begitu kuat dan terarah. Aku merasa kerepotan meladeni pertarungannya, beberapa serangannya hampir saja mengenaiku. Untungnya aku bisa menahan maupun menghindarinya sambil mundur beberapa langkah.
Cukup lama Arman terus menyerang, dan nampaknya tak lama lagi dia akan kehabisan tenaga. Saat pola serangannya mulai menurun kesempatanku untuk menyerang balik, kuawali seranganku dari atas. Dengan mengangkat pedang keatas kepalanya, dia bisa menghalau seranganku. Namun meski begitu tenaga yang kugunakan begitu besar sampai membuat Arman tak mampu menahan dorongan pedangku, terpaksa ia mundur. Tak kubiarkan kesempatan ini hilang begitu saja, aku langsung menerangnya lagi dan lagi dengan tenaga yang kuat. Tapi Arman begitu gigih menahan seranganku, dia sangat nampak kelehalan. Sampai akhirnya kuayunkan pedangku dari samping kiri dan dia mencoba menangkisnya dengan pedangnya namun pedangnya malah terlempar jauh.
“Aku . . . . .kalah.” Arman mengatakannya dengan nafas berat dan terengah-engah.
“Maklum saja lawanmu adalah aku, Mantan Jenderal cukup terkenal.” Kubalas ucapnya dengan nada sedikit sombong.”Tapi kemampuanmu cukup hebat untuk orang desa sepertimu.
Sejujurnya aku sedikit terkejut dengan kemampuan Arman, seorang dari desa mampu membuatku sedikit kerepotan.
“Tetap saja . .aku kalah darimu.”
“Kau saja yang salah pilih lawan. Kau mungkin akan mendapat posisi yang tinggi bila kau masuk kemiliteran kerajaan.”
“Tapi . . aku tak ingin menjadi tentara kerajaan.” Nafasnya masih terdengar berat.
“Yah . . . aku tak akan memaksamu menjadi prajurit kerajaan.”
“Farhan . . . aku baru saja memasak sesuatu. Maukah kau makan bersamaku, anggap saja itu balasan sudah mau bertanding pedang denganku.”
“Jika kau tak keberatan tak masalah bagiku.”
“Tapi aku hanya memasak sayur saja, kau mau kan ?.”
“Tak masalah apa saja, masuk kedalam perutku ini.”
Setelah obrolan itu berakhir, kami kembali menuju dapur di rumah Arman. Setelah ia mengambil sepiring nasi dan sayuran sebagai lauknya, kami langsung melahap makanan yang sudah ada di depan kami. Selesai makan aku langsung ingin kembali ke penginapan desa dimana aku tinggal.
“Arman aku mau kembali.”
“Farhan kau tahu, bila berlatih pedang sendiri kita tidak akan tahu apakah kita sudah hebat jika tak ada orang yang melihatnya.”
“Jadi maksudmu ada orang yang harus memperhatikanmu setiap kau berlatih.”
“Paham juga kau maksudku, aku ingin kau kesini setiap hari menemaniku berpedang. Tentu saja kau juga akan dapat keuntungan, setiap hari akan kubuatkan kau sarapan. Apa kau mau?”
“Baiklah, jika aku dapat makan gratis.”


Minggu, 23 Desember 2018

Prolog dan Peperangan Pertama

Prolog

Jauh di daerah timur Arthara, bediri kokohlah sebuah gunung. Gunung Besar Embun, nampak tegak nan agung, tinggi menjulang ke angkasa. Tepat pada kaki lereng gunung ini, terdapat sebuah desa kecil yang cukup makmur, dinamakan Daruan. Di desa kecil ini tinggallah seorang pemuda yang menjalani kehidupannya dengan damai. Arman, semua orang memanggilnya dengan nama itu.
Di negeri Arthara ini, api peperangan mulai menyulut kembali, setelah beberapa tahun kedamaian berlalu. Perjanjian damai yang ditandatangai 2 pemimpin kerajaan manusia terbesar di negeri ini, telah gagal melindungi hari-hari damai. Akibat dari pelanggaran dari salah satu pihak, perjanjian ini telah gagal. Konfederasi Kota Arta, dan Kekaisaran Tanah Timur, itulah nama 2 kerajaan terbesar di tanah Arthara ini.
Meski api peperangan di negeri ini mulai menyulut sebab perjanjian damai antara 2 kerajaan besar manusia di Arthara telah dilanggar, namun keseharian Arman tetap berjalan seperti biasanya. Dan ia berharap kedamaian tetap bertahan sampai akhir hayatnya.
Namun karena suatu takdir, dirinya harus menghentikan kekacauan di negeri ini. Bertemu dengan seorang penjahat kerajaan, sang penjahat itu menjelaskan keanehan pada negara yang ditinggalinya. Mengetahui hal ini terpaksa Arman harus melakukan perjalanan untuk mendapatkan kedamaian kembali di negeri ini.

Peperangan Pertama

Saat itu minggu pertama musim semi tahun 1478 kalla, Raja Agares, pemimpin besar Uni Tanah Timur langsung menyatakan perang dengan Konfederasi Kota Arta setelah mendengar Kota Arta telah melanggar perjanjian damai antara dua belah pihak. Dengan selembar kertas yang ditandatangani langsung oleh sang raja yang mendeklarasikan perang dengan kota Arta, api peperangan kembali menyulut di negeri yang damai ini.
Peperangan pertama dimulai satu minggu setelah perjanjian damai dilanggar. Pdang Leona, itulah panggung peperangan akan digelar. Dalam menghadapi perang ini, Tanah Timur mengirimkan 7000 pasukan, yang terdiri atas 4000 pasukan infantry dan 3000 pasukan berkuda. Tidak hanya itu, sang raja juga mengirimkan surat kepada semua wilayah kekuasaannya untuk mengirimkan pasukan sukarelawan membantu prang di Padang Leona.
Desa Daruan yang secara teritorial berada di bawah kekuasaan Uni Tanah Timur, menerima surat permintaan bantuan pasukan ini. Desa di kaki Gunung Embun ini, mengrimikan 100 pemuda terbaik dari desa mereka untuk memenuhi panggilan raja, diantara 100 pemuda ini Arman salah satunya. Dengan dipimpin Farhan ,sang mantan Jenderal utama kerajaan tanah timur, mereka berangkat menuju ibukota Arlenka yang berada tak jauh di balik timur Gunung Embun.
Saat sampai diibukota 100 prajurit sukarelawan dari Desa Daruan, mereka bergabung dengan pasukan sukarelawan lainnya. Total jumlah prajurit sukarelawan yang memenuhi panggilan sang raja mencapai 2000 orang.
Total 9 ribu prajurit pergi menuju Padang Leona dari Ibukota Tanah Timur. 9 ribu pasukan yang terdiri dari 7000 prajurit kerajaan dan 2000 lainnya prajurit sukarelawan dari desa-desa maupun kota-kota di wilayah Tanah Timur. Pasukan infantry kerajaan dipimpin langsung oleh Sureta, Jenderal ke-4 kerajaan Tanah Timur. Sedang pasukan berkuda dipimpin sang Jenderal ke-2, Aidan yang terkenal akan kebraniannya. Pasukan sukarelawan sendiri dipandu oleh sang mantan Jenderal kerajaan Farhan.

Saat sampai di Padang Leona, paskuan Tanah Timur telah disambut 8000 prajurit kota Arta. Setelah itu pertempuran-pun tak bisa dielakkan, peperangan yang terjadi selama setengah hari ini berlangsung dengan sengit. Kedua pihak seimbang dan saling ingin menang, namun karena strategi yang bagus dari Jenderal Aidan, peperangan dapat dikuasai oleh pihak Tanah Timur. Dengan terlukanya pemimpin pasukan Kota Arta, terpaksa pasukan mereka mundur. Dengan mundurnya pasukan Kota Arta ini, bisa dikatakan kemenangan didapat Kerajaan Tanah Timur. Total prajurit yang gugur dalam peperangan ini sekitar 5000 orang. 3000 dari pihak kota Arta, dan sisa prajurit tewas lainnya dari pihak dari Tanah Timur.
Meski peperangan di Padang Leona ini telah berakhir, ini bukanlah perseturuan yang terakhir. Ini hanyalah awal untuk peperangan yang akan datang.